Oleh: Arif Budiman
(Peneliti Rumah Restorasi Indonesia / Konsultan Pajak)
Sejak Reformasi 1998 yang ditandai dengan kejatuhan Presiden Soeharto yang dilanjutkan oleh Presiden Baharuddin Jusuf Habibie sebagai penggantinya, saat itu kita melihat ada secercah harapan perbaikan ekonomi. Nilai tukar dolar yang sempat terpuruk saat Habibie secara perlahan menguat sampai Rp5000. Mestinya, waktu itu kita mulai menghitung kembali berapa besar sebenarnya kemampuan untuk membiayai negara ini. Namanya membiayai negara berarti ada pendapatan. Sama dengan kalau di rumah tangga atau suatu keluarga, kita juga menghitung pengeluaran dan juga kita harus menghitung penerimaan. Jangan sampai besar pasak daripada tiang.
Ketika awal pemerintahan Habibie, penerimaan negara itu tampaknya sudah mulai dapat dihitung dan membaik. Darimana sumbernya? Indonesia ini diberkahi oleh Allah dengan sumber daya alam yang luar biasa. Jangankan negara di Asia, Eropa pun dulu mengincar komoditas rempah-rempah dari Indonesia. Komoditas itu adalah sumber pendapatan utama yang harus dielaborasi, namun sayangnya kita kehilangan arah. Sebagaimana dikatakan sastrawan Taufik Ismail, “negeri kita ini negeri mafia”. Di sektor anggaran negara, apakah itu mafia penerimaan negara, maupun mafia pengeluaran belanja negara. Jika mau dihitung akan sangat mudah, karena saya seorang Akuntan. Mafia dalam anggaran negara itu ada dua kelompok besar, yakni mafia penerimaan dan mafia pengeluaran.
Kerugian yang diakibatkan mafia penerimaan jauh lebih besar, mengapa? Lantaran penerimaan agak sulit dideteksinya, sementara pengeluaran lebih mudah mendeteksinya. Kalau kita melihat dalam struktur anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), penerimaan itu masih dapat prediksi, sedangkan pengeluaran adanya setelah penerimaan. Berarti, mafianya lebih besar mana? Pasti lebih besar di sektor penerimaan.
Penerimaan negara bersumber dari pajak pusat dan pajak daerah atau retribusi daerah. Pajak pusat itu ada Pajak Penghasilan (PPh) ada Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang jadi penerimaan negara., misalnya PPh Migas dan sumber daya alam. Berdasarkan Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, PPN sekarang sudah meluas, disamping tarifnya sudah naik, ada pajak daerah termasuk bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB), kemudian pajak bumi dan bangunan (PBB) yang alokasinya untuk daerah- tanpa ada dana alokasi umum. Misalnya, penarikan PPN dan PPh, katakanlah PPh 21, Perusahaan tambang yang meliputi juga pegawainya akan kena PPh 21, daerah yang bersangkutan memiliki hak bagi hasil dengan negara .
Begitu pula untuk tenaga kerja asing atau perusahaan asing, maka akan ada pungut di dalam negeri. Kalau ada tenaga kerja asing yang dikenakan pajak, lantas tidak terdeteksi di kantor pajak, berarti ada korupsi penerimaan. Perilaku ini bisa melibatkan banyak orang. Seharusnya, penerimaan PPN, PPh, dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) didukung oleh mentalitas, morarilas dan integeritas para pejabat-pejabatnya, maka penerimaan pajak akan berdampak pada kesejahteraan rakyat.
Sebagai contoh, kita hitung saja aset-aset Daerah yang ada di Sulawesi dan Papua, mana yang punya Daerah dan mana yang punya Pusat. Kalau dalam perusahaan aset itu jadi modal, modal yang bisa menghasilkan penerimaan. Berapa besar penerimaan itu kemudian menjadi penerimaan Pusat maupun penerimaan daerah.
Jika saja Kementrian Keuangan setiap tahun menghitung berapa kira-kira potensi penerimaan Negara yang akan diterima setiap tahunnya, seharusnya naik seiiring dengan naiknya investasi dalam sektor sumber daya alam dan sumber daya mineral kita melimpah. Kenapa tidak penerimaan tidak naik, karena bisa jadi banyak mafia di sektor tersebut.
Penerimaan pajak harusnya naik setiap tahunnya, karena pajak itu tidak hanya berasal dari sumber daya alam saja, tidak hanya dari bahan mentah saja, dia juga bisa berasal dari barang jadi, barang setengah jadi, manufaktur perdagangan, dan lain-lain. Pajak dari sektor jasa juga cukup besar. Jadi penerimaan Pajak negara harusnya naik kalau perekonominya terus berputar.
Ekonominya Indonesia dikuasai oleh para oligarki dari Hulu sampai hilir. Makanya sampai sekarang Indonesia masih tetap banyak utang walaupun pendapatannya setiap tahun naik, dan Indonesia masih saja tergolong sebagai negara menengah ke bawah. Berarti jika dilihat dari pendapatan perkapitanya membuat bingung antara pendapatan Negara naik tetapi pendapatan perkapita tidak naik, malah cenderung menurun.
Kalau dalam konsep pembukuan ada penerimaan, kemudian setelah itu ada pengeluaran, maka pengeluaran itu dianggarkan setelah ada penerimaan. Dalam pengeluaran nanti ada partisipasi masyarakat, peran serta masyarakat untuk extention proyek dan lain sebagainya. Ini dapat mengangkat pendapatan masyarakat. Akan tetapi begitu dari penerimaan ke pembiayaan pengeluaran ada inspirasi soal “dedikasi” penguasa atau pejabat yang punya kewenangan, di situ, besar kemungkinannya akan terjadi kebocoran pengeluarannya yang semakin besar. Kalau ditanya besar mana kebocoran penerimaan atau kebocoran pengeluaran? Kalau zaman Soeharto yang kembali ke masyarakat 30%, zaman reformasi awal 20an % zaman sekarang tinggal 8%. Pernyataannya dari 30%, 20% ke 8% berarti terjadi perunan yang banyak sekali, jelas ini berbahaya.
Estimasi atau hitungan optimis penerimaan negara pertahun itu sekira Rp20.000 triliun hingga Rp30.000 triliun yang bersumber dari penerimaan pajak dan nonpajak. Kenyataannya penerimaan sekarang hanya 1.800 triliun. Padahal kalau kita hitung berdasarkan hitungan optimis dari pajak bisa saja lebih dari 20.000 triliun.
Menghitung pajak jangan dari tingkat pertumbuhan ekonomi, seharusnya menghitung pajak dari sumber daya alam yang kita miliki. Sumber daya alam kita sekarang ada PPN-nya, sumber daya alam yang diambil langsung dari sumbernya. Harusnya perhitungan pendapatan lebih akurat dalam menghitung penerimaan, dan itu lebih dari cukup.
Kasus Pajak Menguap
Kita mencatat pada tahun 2022 ada 252 kasus penggelapan dana negara, tetapi dari sekian ratus tersebut, tidak terdengar ada penggelapan penerimaan pajak. Satu contoh, penggelapan penerimaan negara yang besar, pernah terungkap, yaitu kasus pegawai Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (Ditjen Kemenkeu) Gayus Tambunan yang asyik menonton tenis di Bali, padahal dia sebagai terpidana kasus penggelapan pajak.
Fenomena para tersangka kasus-kasus pajak selama ini sedikit saja yang ditangkap Komisi Pemberantasn Korupsi (KPK), karena memang regulasinya “menguntung” mafia pajak, sehingga sulit untuk mendeteksinya. Harusnya pranata birokrasi kenegaraan perihal pajak menjadi andalan pada pendapatan Negara, khususnya dari pajak penerimaan.
Tetapi persoalannya kebijakannya masih one way traffic dalam pengertian, mereka juga harus diawasi, lantaran Ditjen Pajak bukang hanya sebagai operator, tetapi juga yang membuat kebijakan dan pelaksana kebijakan.
Sebetulnya, kebocoran sektor pajak mudah untuk dideteksi, seperti contoh kasus Gayus Tambunan ini, sebab dialah yang menjadi perantara dari orang-orang yang memiliki masalah pajak, misalkan, pajak yang seharasnya dibayar sekira Rp100 milyar dapat dikecilkan menjadi triliun menjadi Rp8 milyar saja—berarti, jika ada potensi penyimpangan penerimaan pajak yang seharus Rp100 milyar menjadi Rp8 milyar saja, maka negara kehilangan Rp92 milyar dari penerimaan pajak.
Demikian pula, analisa saya pertama, undang-undang pajak dalam pelaksanaannya berada pada posisi yang paling rendah. Misalnya, banyak kasus-kasus pajak yang terungkap di pengadilan pajak dalam sengketa dan gugatan lebih banyak dimenangkan oleh wajib pajak. Artinya, kualitas pemeriksa pajaknya perlu dipertanyakan. Bagaimana mungkin, yang menang dalam gugatan lebih banyak wajib pajak, berarti kualitas pemeriksaan pajaknya yang buruk.
Kedua, kualitas pemeriksa tidak mampu meneliti yang mana sebenarnya yang jadi penerimaan negara. Banyaknya sinyalemen kebocoran dalam penerimaan pajak lantaran wajib pajak mengatakan, “di atas sudah selesai, hal itu boleh tanyakan pada konsultan pajak”.
Permasalahan lainnya, perihal dalam penyelewengan penerimaan pajak ini, banyak kasus pengusaha kena pajak (PKP) mendapatkan sertifikat pajak yang dikeluarkan oleh Ditjen Pajak, padahal proses transaksi perdagangannya ilegal. Ada istilahnya, TBTS alias “transaksi bukan transaksi sebenarnya”. Itu yang banyak terjadi. Misalnya, mereka menjual daging ilegal, importir jualnya ilegal tentunnya tidak akan ada faktur dalam penjualannya, supaya ada fakturnya mereka minta faktur pada pihak lain, kemana mintanya? Tidak mungkin ke tukang daging yang lain, melainkan melalui jaringan mafia perpajakan. Ada orang bertahun-tahun jualan faktur tapi tidak terdeteksi, pengawasannya bagaimana? Mengapa tidak terdeteksi? Hal inila yang berdampak pada hilangnya ratusan milyar rupiah, bahkan trilliun rupiah kerugian penerimaan negara.
Contoh kasus lainnya, banyak juga kasus yang saya temui, misalnya ada pengusaha yang diterbitkan faktur pajaknya, padahal tidak pernah melaporkan wajib pajaknya selama bertahun-tahun. Seharusnya, untuk terbitnya faktur terbaru, harus menyelesaikan kewajiban pajaknya yang terdahulu.
Solusinya, setiap pajak harus berdasarkan undang-undang, bukan diatur dalam peraturan di bawahnya, misalnya soal tarif, dasar perpajakan, jadi Menteri Keuangan tidak boleh seenaknya mengatur tarif final pajak. Harus ada klausul dalam undang-undang, bahwa kebijakan final wajib pajak tidak diserahkan penuh kepada Menteri Keuangan tetapi pemerintah harus berkonsultasi lagi dengan DPR.
Teknisnya, dasar pengenaan pajak terhadap PPN dan PPh termasuk pajak bumi dan bangunan, serta pajak penghasilan atas penjualan tanah dan/atau bangunan P(PHTB), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) harus ikut serta di dalamnya. Kemudian, turunannya ada peraturan daerah (Perda) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Harus dipikirkan bagaimana supaya penerimaan pajak tidak bocor. Penerimaan negara itu ada dua, yakni pertama, penerimaan negara bukan pajak (PNBP)—juga harus dihitung dan perhitungannya harus jelas. Kemudian yang kedua, kebocorannya itu harus dideteksi.
Jadi, menurut saya bukan lagi menambal kebocoran pada institusi perpajakan, tetapi harus merestorasi institusi perpajakan, mengganti semua pejabat dengan yang baru yang lebih berintegritas, yang berpihak kepada masyarakat dan negara.