Oleh: Lukman Hakim Hasan
(Peneliti pada Rumah Restorasi Indonesia / Ekonom)
Istilah restorasi pernah dipakai di Jepang yang dikenal dengan “Restorasi Meiji”. Kita menyaksikan Jepang dan negara di Asia Timur telah melakukan transformasi dari sektor pertanian ke sektor industri. Produk barang-barang harian yang digunakan seperti ponsel; kamera; kompute sekarang nyaris umumnya, barang yang kita gunakan saat ini adalah produk Asia Timur yang Indonesia tidak mampu membuatnya.
Kita perlu membahas mengapa Indonesia sudah 78 tahun merdeka, namun tidak berhasil untuk masuk kedalam proses transformasi tersebut, belum mampu melakukan program industrialisasi? Malah, yang terjadi adalah proses deindustrialisasi.
Dulu Indonesia pernah bangga mempunyai Industri Pesawat Terbang Nasional (IPTN), yaitu industri pesawat terbang. IPTN ini termasuk bagian proses transformasi itu, namun sayangnya sekarang tinggal cerita—memang masih ada, namun sudah hilang kegairahannya.
Literasi, memang ada warisan dari pemerintah penjajah dalam sektor pertanian dan sindustri tetapi tidak terlalu banyak. Satu di antara warisan kolonial yang masih ada pada sektor pertanian adalah PT Perkebunan Nasional, jumlahnya sekiran 30-an perusahaan. Sejumlah komoditinya diantaranya seperti teh, kopi, gula dan lain-lain. Ini memang komoditas andalan Kolonial Belanda. Industrialisasi ini terutama di wilayah Jawa Tengah. Pabrik gula yang kita miiki merupakan industrialisasi hasil pertanian atau perkebunan pohon tebu yang hingga sekarang mesinnya masih import dari Eropa.
Mengenai diskursus transformasi Indonesia pascakemerdekaan sempat terjadi perdebatan antara Menteri Keuangan/Perekonomian Soemitro Djojohadikusumo vis a vis dengan Gubernur Bank Indonesia (BI) Sjarifuddin Prawiranegara. Sjarifuddin memprioritaskan sektor pertanian, sementara Soemitro sektor industri. Soemitro didukung oleh Wakil Presiden/Perdana Menteri Mohammad Hatta, sehingga pabrik pertama yang didirikan oleh Pemerintah Indonesia pada masa awal kemerdekaan adalah Semen Gresik pada tahun 1954. Ini adalah manufaktur pertama yang lahir dari rahim Indonesia.
Selanjutnya, perihal transformasi Indonesia, era 1970-an, Burhanuddin Jusuf Habibie mengusulkan kepada Presiden Soeharto untuk membangun industri teknologi pembuatan pesawat, ini lompatan yang luar biasa, lalu bagaimana dengan manufaktur yang lain? Sektor manufaktur yang lainnya rata-rata dari import, seperti Astra Group dulu mengimport mobil-mobil dari Eropa dan Amerika Serikat. Kemudian, pada awal Orde Baru mengimport kendaraan dari Jepang, sepeti mobil Toyota dan motor Honda, yang telah menjadi partner terbesar di Indonesia. Artinya, selama kemerdekaan, prakarsa untuk industrialisasi itu terlambat. Ada yang sangat cepat seperti inisiasi Habibie dengan manufaktur Dirgantara, namun sekarang tidak berlanjut.
Masuk ke era Reformasi Indonesia masih bergantung pada sektor pertanian dan pertambangan. Industri barang-barang ekstraktif yang membuat kita hidup dari hasil tambang, seperti batubara dan minyak bumi. Semua terkeduk dijual, tidak berubah seperti yang terjadi pada zaman Kolonial dulu. Tidak ada barang yang kita buat lalu jual, begitu pula pada sektor pertanian, kita tanam kemudian kita jual.
Menyangkut dengan gagasan restorasi, berkaca pada Restorasi Meiji Jepang, diantaranya melakukan land reform pertanahan. Jadi begitu akan dimulai industrialisasi tanah dibagi. Ibaratnya, orang bermain monopoli di permainan monopoli dibagi dulu tanahnya sebagai bentuk pemerataan. Konsep Restorasi itu memang tidak bisa lepas dari isu pemerataan.
Bagaimana Indonesia hari ini? Menurut Professor Budiono, mantan Wakil Presiden Indonesia ketika menjadi guru besar, beliau mengatakan bahwa Negara yang lebih memilih jalan demokrasi seperti Indonesia ini harusnya pendapatan domestik bruto (PDB) perkapitanya di atas $6.000/kapita. Jika di atas $6000 tidak ada politik uang, tapi kalau di bawah itu yang muncul adalah politik uang. Logikanya, jika orang sudah mampu tidak rentan uang disogok, maka tidak rentan politik uang. Mengapa orang kemudian masih mau menerima Rp50.000-Rp200.000 lantran berpengasilan rendah.
Ada “text book” jika PDB merata, mereka akan melihat politik itu menjadi mulia karena tidak layak dikotori transaksi uang. Karena PDB perkapita kita sangat rendah, orang mau “dibeli” dan diganti uang saja, nanti setelah pemilu dan berkuasa selama 5 tahun tidak akan betemu lagi.
Kita juga harus melakukan reformasi kapital melalui kredit. Masyarakat diberikan akses yang mudah untuk mendapatkan kredit rakyat murah. Era Orde Baru akses masyarakat untuk mendapatkan kredit lebih mudah daripada sekarang. Waktu itu, ada skema kredit modal kerja permanen karena Bank Indonesia di bawah Pemerintah. Di era Orde Baru, ada skema kredit usaha rakyat (KUR), dengan bunga yang murah karena disubsidi pemerintah. BI diminta oleh pemerintah memberikan kredit yang bunganya hanya 2%. Sehingga semua masyarakat bisa akses, itu jugakan uang masyarakat.
Sekarang Bank Indonesia menjadi independen sejak tahun 1999. Ketika BI berdiri sendiri kemudian men-drive, lebih mandiri tidak di bawah pemerintah, kredit untuk rakyat prosesnya pun lebih rumit karena BI independent yang bukan bagian dari pemerintah untuk menerapkan BI sebagai agent of development.
Untuk melakukan reformasi kapital, harus dibuat program yang terstruktur. Presiden Joko Widodo sudah melakukan bagi-bagi sertifikat hak milik (SKH) tanah, sebenarnya itu bagian dari reformasi pertanahan. Memang, di Indonesia tanah-tanah lebih banyak kuasai oleh negara, hal ini dapat diverifikasinya, dibagi kepada masyarakat, dan itu pun peruntukannya untuk membuka lahan pertanian. Karena memang ketahanan pangan merupakan senjata masa depan.
Saya menanggapi masalah konsep sosialisme, kapitalisme, dan dialektika ekonomi klasik. Mengapa dikatakan klasik karena kuno. Mengapa kuno, karena berfikir apa adanya, bahwa di dunia ini tidak semua orang kaya, juga tidak semua miskin. Dunia ini bergerak karena ada perbedaan. Ada yang kaya ada yang miskin, ada yang pandai ada yang bodoh. Konsep klasik seperti itu, maka “dicemooh” oleh Karl Mark. Namanya klasik itu adalah perbedaan strata, ada yang punya uang disebut pemodal, ada yang bekerja disebut kaum pekerja, ada yang pintar jadi guru, yang kurang pintar disebut murid.
Begitu dipangkas oleh sosialisme semua disamakan, itu menentang sunatullah. kan tidak mungkin bajunya sama semua, harus kerjaannya sama. Makanya pendapat klasik dalam bukunya Karl Mark dikatakan kuno.
Menyikapi diskursus tentang oligarki, bagaimana? Membicaraka dalam konteks sejarah Islam, Islam itu model kepemimpinan menentang oligarki. Rasulullah Muhammad itu tidak menentang monarki, demikian pula Rasulullah Musa tidak menentang monarki Raja Firaun. Yang ditentang para rasul adalah oligarki–praktik ekonomi seperti Abu Jahal dan Abu Lahab, dan yang lainnya adalah oligharki. Oleh karena itu, tahapan-tahapan yang dilakukan oleh para Rasul adalah bagaimana mereka menjadi dipercaya ‘al-amin’, Ketika memahami konsep ekonomi dalam perspektif islam, sesungguhnya adalah lawan oligharki.
Oligarki adalah penguasaan sedikit orang pada negara. Oligarki berperilaku untuk menguasai demokrasi, menguasai akses bisnis dan sedapat mungkin menutup akses pihak lain. Beberapa konglomerat adalah orang-orang kaya yang kemudian seolah mengendalikan ekonomi negara.
Utang
Menurut laporan Bank Indonesia, saat ini, tahun 2023, utang Indonesia totalnya adalah Rp7733 trilliun. Sebagian besar utang, sekira Rp818 triliun melalui instrument surat nerharga negara (SBN) yang adalah instrumen relatif baru. Dahulu utang Indonesia adalah ke Internatioanl Monetery Fund (IMF); Bank Dunia; Paris Club; Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI). Tetapi sekarang utang Indonesia cenderung sifatnya berupa SBN yang bayar bunganya.
Menghitung utang, biasanya ada rasio antara volume ekspor dan utang atau biasa dikenal dengan debt to service ratio (DSR). Ada juga yang tidak menggunakan itu. Mengapa sering menggunakan DSR? Itu hubungannya dengan ekspor. Data yang saya punya, DSR Presiden Joko Widodo sekarang nyaris 40%, artinya jika ekspornya 100, maka 40%-ya untuk bayar utang—sama persis dengan Presiden Soeharto pada tahun 1988.
Ketika konsen pada jalan tol, utang infrastruktut Pemerintahan Presiden Joko Widodo mirip sekali Pemerintahan Presiden Soeharto saat fokus pada infrastruktur. Mengapa Pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudoyono tidak berani mangambil pilihan itu, karena sudah bisa diprediksi ketika suatu negara tidak punya uang, tetapi ingin membangun infrastruktur pasti utang. Resiko itu sudah dibayangkan.
Dalam teori ekonomi ada dua teori mengenai utang, menurut pandangan Keinsen, utang hari ini adalah beban generasi masa depan. Tetapi pandangan yang modern adalah Ricardian Equivalence, utang hari ini tidak berpengaruh terhadap utang masa mendatang. Karena yang akan terjadi, utang untuk infrasturkur adalah terjadinya percepatan dan pertumbuhan ekonomi. Jalan tol yang dibangun dengan utang, 10 tahun mendatang itu tak terasa, akan terasa kecil.