Strategi Baru Pembangunan Politik Nasional
Oleh : Tamsil Linrung
(Senator DPD RI, Pendiri Rumah Restorasi Indonesia, dan Inisiator Posko Pilihan Rakyat)

Iklim politik tidak sehat dan pelembagaan demokrasi yang lamban harus direspons dengan pendekatan progresif pembangunan politik nasional. Bila dibiarkan berlarut-larut, masa depan bangsa dipertaruhkan. Pilihan sistem politik demokrasi berdasarkan kepribadian bangsa Indonesia yang menjadi konsensus bersama, mesti diaktualisasikan untuk menjembatani tercapainya cita-cita nasional.
Sayangnya, berbagai riset menunjukkan indeks demokrasi Indonesia makin suram. Mengalami kemerosotan. Menurut Economist Intelligence Unit (EIU) Democracy Index, demokrasi Indonesia pada tahun 2022 ini hanya mendapatkan skor 6,71 atau masuk dalam kategori demokrasi yang berkembang (flewed democracy). Ini berarti bahwa Indonesia mengalami kemunduran dari tahun-tahun sebelumnya. Indeks demokrasi kita pernah mencapai rangking terbaik pada tahun 2014-2015 dengan skor 7,03.
Kategori demokrasi berkembang yang ditempati Indonesia bahkan cenderung dan lebih dekat pada model pemerintahan otoritarian yang disebut oleh The Economist sebagai rezim hibrida (hybrid regime), ketimbang pemerintahan yang demokratis. Hybrid regime sering terihat mempaktekkan ritual demokrasi (prosedural), namun pada saat yang lain mereka juga membudayakan praktik politik otoriter.
Hybrid regime adalah suatu bentuk pemerintahan yang memiliki karakteristik campuran antara demokrasi dan otoritarianisme. Hybrid regime memiliki ciri-ciri bahwa pemilihan umum diadakan secara berkala, namun terdapat limitasi terhadap kebebasan sipil dan politik. Pers tampak merdeka, tapi subtansi pemberitaan telah didesain untuk kepentingan beberapa pihak. Pers tidak murni menyuarakan kepentingan publik. Selain itu, oposisi seringkali ditekan dan diintimidasi.
Hybrid regime adalah penjelmaan negara demokrasi dan negara otoritarianisme. Hybrid regime seringkali ditemukan di negara-negara berkembang atau negara yang mengalami transisi dari otoritarianisme ke demokrasi. Dalam proses konsolidasi demokrasi yang normal, hybrid regime dapat menjadi tahap awal menuju demokrasi yang subtantif. Namun dalam banyak kasus, hybrid regime juga dapat berubah menjadi otoritarianisme yang lebih kaku.
Beberapa contoh negara yang dianggap sebagai hybrid regime antara lain Rusia, Venezuela, dan Azerbaijan. Pemilihan umum memang digelar regular di negara-negara tersebut. Namun aroma menyengat kecurangan dalam pemilu dapat dirasakan. Oposisi dibatasi. Jika gagal dirangkul, maka diintimadasi melalui ancaman kasus dan dikriminalisasi.
Kendati reformasi telah bergulir nyaris seperempat abad, Indonesia terancam kembali ke masa-masa kelam dunia politik alih-alih menatap masa depan demokrasi yang cerah. Anasir-anasir rezim hibrida yang semakin jauh dari esensi demokrasi, telah banyak kita rasakan. Bahkan mewarnai perpolitikan hari ini.
Perhelatan pemilu menuju istana, hingga pesta politik di level desa, semata-mata hanya prosedur yang tidak mendekatkan pada subtansi demokrasi yang dicita-citakan. Partai politik yang diharapkan menjadi katalisator demokrasi, sebagian besar justru menyemai bibit-bibit otokrasi.
Partai menjelma sebagai aset keluarga. Demokratisasi internal mandek. Kontestasi di parpol sering kali berujung pada perpecahan. Parpol-parpol baru lahir lebih sering bukan karena dilandasi alasan ideologis, tapi dipicu oleh ekspresi kekecewaan.
Dalam skala lebih teknis, indikator lain untuk menilai sejauh mana bangsa ini melangkah di belantara politik dan proses pematang demokrasi, dapat kita cermati dari dampak produk kebijakan pemerintah. Dalam aspek keadilan dan distribusi ekonomi yang diukur berdasarkan indeks gini rasio, capaian pembangunan masih jauh dari harapan. Disparitas menyajikan keterbelahan kelas masyarakat yang curam. Tidak ada langkah signifikan dalam upaya mengikis ketimpangan. Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, hanya 1 persen orang terkaya di Indonesia yang menguasai 49,3 persen kekayaan nasional.
Sulit berharap keadilan pada pranata kekuasaan yang malah berupaya menghidupkan nilai-nilai otoritarianisme dan telah nyaris gagal melembagakan demokrasi. Pranata kekuasaan ini cenderung tidak berpihak pada prinsip-prinsip demokrasi dan selalu mengarusutamakan agenda terselubung untuk mempertahankan kekuasaan. Kendati harus dipaksakan, jika hal tersebut bertentangan dengan kepentingan rakyat atau nilai-nilai demokrasi.
Telah banyak praktik politik dan kebijakan berstempel demokrasi prosedural yang membuktikan premis pelanggengan kekuasaan. Misalnya saja pemaksaan implementasi UU Cipta Kerja melalui Perppu, padahal telah dinyatakan inskonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Publik sudah tahu, untuk apa dan siapa yang diuntungkan oleh UU Cipta Kerja tersebut. Itulah potret pranata kekuasaan yang terkooptasi oleh nilai-nilai otoritarianisme, menggunakan berbagai cara demi melestarikan kepentingan.
Oleh karena itu, demi membangun dan mempertahankan demokrasi yang kuat, mendesak untuk memperjuangkan pranata kekuasaan yang menjunjung tinggi prinsip-prinsip demokrasi, berkomitmen pada perlindungan hak-hak dan kebebasan warga negara. Hal ini dapat dilakukan melalui partisipasi aktif dalam proses politik dan pemilihan umum, serta pengawasan terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah.
Problemnya, proses pemilu bersih, akuntabel dan transparan menyisakan skeptisme bagi publik sehingga terjadi kecenderungan tumbuhnya apatisme. Hal inilah yang diinginkan oleh rezim status quo. Memupuk ketidakpedulian pada proses politik. Padahal partisipasi aktif warga negara di ruang-ruang politik sangat dibutuhkan. Seperti dikatakan oleh Perdana Menteri Kelima Republik Indonesia, Muhammad Natsir, “Jika kamu tidak peduli pada politik, maka kamu akan jadi korban politik”
Strategi pembangunan politik Indonesia sebetulnya tidak butuh sesuatu yang baru. Yang diperlukan adalah komitmen kebangsaan dan sikap konsekuen pada konstitusi. Pembukaan Undang Undang Dasar 1945 telah dengan jelas menerangkan kemana bangsa ini mesti melangkah.
Komitmen kebangsaan dan konstitusi yang kuat sangat penting dalam membangun politik yang sehat. Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan upaya berkelanjutan dan komprehensif dari pemerintah, elemen masyarakat sipil, dan semua pihak terkait. Beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam membangun politik Indonesia yang sehat antara lain.
Pertama, meningkatkan kesadaran konstitusi. Demokrasi prosedural dan serampangan, serta munculnya gejala baru, mengubah prosedur untuk memuluskan agenda pihak-pihak tertentu, merupakan indikasi kuat lemahnya kesadaran konstitusional warga negara. Karena itu, pendidikan tentang konstitusi dan hak-hak dasar warga negara harus ditingkatkan agar prosedur bernegara dipahami secara lebih baik. Sehingga semua warga negara turun tangan mengambil peran memperjuangkan kepentingannya yang dijamin oleh konstitusi.
Kedua, supremasi hukum. Sistem tebang pilih telah menjadi stigma negatif yang melekat pada proses penegak hukum. Hukum yang dapat dibeli, bukan rahasia lagi. Kita nyaris sulit menemukan penerapan sistem hukum yang kuat dan independen. Padahal, sangat penting untuk memastikan keadilan dan kesetaraan hukum untuk menjamin hak-hak politik masyarakat.
Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Tuntutan untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas tentu saja dialamatkan kepada pemerintah sebagai penerima mandat dan penyelenggara negara. Rakyat menitipkan kedaulatan kepada pemerintah yang harus dikelola melalui serangkaian kebijakan publik. Mulai dari soal anggaran negara hingga keputusan-keputusan strategis yang mempengaruhi hajat hidup rakyat. Kinerja birokrasi dan tata kelola pemerintah dapat mencapai efektivitas dan efisiensi jika prinsip transparansi dan akuntabilitas ditegakkan.
Keempat, membangun budaya politik yang sehat. Masyarakat harus diberikan pemahaman yang benar tentang politik dan budaya politik yang sehat. Termasuk berkembangnya sikap kritis serta hidupnya mekanisme check and balances.
Beberapa tahun belakangan, seolah berkembang pemahaman jika warna politik harus sama dengan warna kekuasaan. Harus disadari, demokrasi bergairah jika perbedaan dikelola secara produktif. Dimana kekuatan politik penguasa dan oposisi berada dalam bandul untuk saling menjaga titik keseimbangan. Upaya menyeragamkan aspirasi politik melalui rangkulan dan tawaran-tawaran, atau intimidasi dan mengebiri hak-hak mereka, justru merupakan pertanda buruk bagi demokrasi.