Oleh : Bhima Yudhistira
Peneliti Rumah Restorasi Indonesia / Direktur CELIOS (Center of Economic and Law Studies)
Generasi yang lahir di era 1990-an – 2000-an adalah generasi yang dapat dikatakan paling galau atau generasi yang banyak menghadapi masalah yang kompleks. Contohnya, banyak pemuda yang saat ini masih harus tinggal dengan orang tuanya. Untuk mendapatkan kredit perumahan rakyat (KPR) tidak sebanding dengan kenaikan upah. Selain itu, banyak pula yang terpaksa harus kerja sambilan lantaran gaji pokoknya tidak mencukupi, pulang kerja bersama istri membuka usaha tambahan warung atau jualan secara online—yang ditandai dengan kemajuan akses digital.
Sebenarnya, mereka ini yang disebut sebagai generasi milenial dan generasi Z ini, memiliki beban jam kerja yang paling panjang, bahkan Indonesia dinobatkan sebagai negara peringkat ketiga dengan jam kerja yang lebih panjang daripada negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Kita hanya sedikit berada di bawah Jepang da Korea Selatan.
Berapa uang yang mereka dapatkan dengan jam kerja lebih panjang?—Belum lagi saat situasi pandemi COvid-19. dapatkah mereka selamat secara ekonomi dari krisis biaya hidup atau cost of living crisis dengan harga-harga barang naik? Meskipun pada situasi pandemi yang sudah mulai longgar?
Generasi ini adalah generasi yang juga menjadi saksi bagaimana reformasi ternyata tidak menjanjikanseperti apa yang dulu para pendahulu mereka katakan, yaitu demokrasi ekonomi akan berjalan, selain demokrasi politik dengan “one man one vote” yang lebih liberal pascareformasi (?) Tidak seperti yang diharapkan, dari segi ekonomi hampir dapat dikatakan tidak terjadi demokratisasi, pemusatan kekayaan semakin mengerucut kepada segelintir orang.
Ironi, selama wabah Covid-19, ada pertambahan orang kaya sebanyak 65.000, yang disebut sebagai “OKB” (orang kaya baru). OKB di Indonesia sebagian besar adalah mereka yang bekerja di sektor yang sebenarnya sama pada saat Orde Baru atau Orde Reformasi, yaitu di sektor-sektor ekstraktif. Hal ini menunjukkan bahwa budaya Orde Baru telah ditumbangkan dan masuk ke fase reformasi, tetapi masih saja sama jualannya, yakni batu bara yang kotor dan merusak lingkungan, pertambangan migas perkebunan sawit, Jikalau zaman Orde Baru kita kenal ada istilah “raja hutan” karena menjual logam ataupun kayu untuk ekspor, sekarang “raja hutan”-nya berubah menjadi “raja sawit”.
Jadi, sebenarnya secara struktur ekonomi Indonesia telah menciptakan ketimpangan secara ekstrem. Bahkan, didimana problem pendidikan yang masih sulit, warga masyarakat yang tengah mengalami krisis pendapatan. Fenomena rakyat mengantri minyak goreng sampai ada yang meninggal karena lonjakan harga. Disisi lainnya, justru banyak pengusaha yang lebih mementingkan diri sendiri dan kelompoknya untuk ekspor ketika harga crude palm oil (CPO) sedang tinggi-tingginya. Ini adalah fenomena yakni krisis ekonomi dan wabah Covid-19 justru dimanfaatkan dan dinikmati oleh para oligarki ekonomi.
Masalah lainnya, apakah generasi kekinian juga ikut menikmati kemajuan internat? Tidak juga, karena generasi yang menikmati internet itu hanya 1% dari penduduk paling miskin. Pemanfaatan internet untuk peningkatan pendapatan masyarakat miskin masih sangat jauh seperti yang diharapkan. Kehadiran internet memang bermanfaat pada keterbukaan informasi—terutama menurukan angka korupsi, contohnya saja untuk menghindari pada pengadaan barang secara elektronik. Namun, kenyataannya indeks persepsi korupsi kian memburuk, menjadi paradok pada era Reformasi ini.
Kemudian, dapat dilihat kasus kartu prakerja, yang kita kira teknologinya dapat digunakan untuk hal yang positif, namun ternyata hanya jadi bacakan proyek beberapa orang yang dekat dengan kekuasaan.
Lalu, bangga dengan adanya startup; unicorn; startup decacorn, tetapi sebenarnya isinya kosong, yang artinya itu hanya digunakan untuk mengusahakan kekayaan.
Orang semakin ekstrim menyatakan: anda beruntung hidup di 2000-2023 menyaksikan transformasi digital. Lalu, untuk siapa transformasi digitalnya?
Munculnya arus kelas pekerja yang diakuinya sebagai big economy, yang menggunakan fasilitas digital, mirisnya pendapatan tidak sebanding dengan buruh formal. Yang membedakan, hanya pada jam kerja yang lebih fleksibel karena menggunakan kendaraan bermotor, berbasis android, akant tetapi sebenarnya dari segi pendapatan belum tentu mampu menutupi kebutuhan hidup yang semakin meningkat.
Masyarakat Indonesia yang berprofesi menjadi driver online pun jumlah semakin banyak sekitar 4 sampai 5 juta orang. Jika kita gabungkan antara driver ojek motor online dengan driver ojek online mobil, semakin mengarah pada ketidakpastian pekerjaan: “Kalau nggak narik dia nggak dapat uang dan juga tidak ada jenjang karir”. Apalagi, tarif juga ditentukan sepihak oleh Aplikator.
Asumsi bahwa generasi digital merupakan generasi nyaman dengan kemajuan digitalisasi, itu adalah kesalahan besar. Sementara, masih banyak warga masyarakat yang di pinggiran perkotaan dan desa jauh dari proses digitalisasi itu sendiri. Usia produktif yang sebagian besarnya adalah usia remaja, terancam pada pilihan yang semakin sulit untuk menikmati dampak kemajuan teknologi digitalisasi, karena pendapatannya tidak signifikan dengan realitas pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Masalah yang hadapi kondisi pengelolaan ekonomi negara, terutama dalam bidang anggaran atau fiskal, semakin hari semakin menunjukkan pengelolaan yang buruk. Apa indikatornya? diantaranya adalah rasio pajak yang terus mengalami penurunan. Padahal, pemerintah sudah beberapa kali mengambil kebijakan amnesti pajak, yang perolehan kenaikannya pajak tidak signifikan. Padahal sasaran amnesti pajak adalah orang kaya atau para konglomerat besar. Reformasi perpajakan sepertinya tidak terlalu difahami oleh pemerintah.
Ajaib, naiknya harga ekspor komoditi selalu diiringi kelangkaan komoditi di dalam negeri. Pemerintah tidak melakukan menaikkan rasio pajak bagi individu perusahaannya. Mengapa di negara benua Eropa, diberlakukan win fold all atau pajak bagi perusahaan yang profitnya terlalu besar di tengah krisis energi. Sementara di Indonesia sepertinya kenaikan harga komoditas hanya membuat orang kaya semakin senang, lalu mereka mengatakan keberhasil dalam pemulihan ekonomi pulih dari hasil kerja kerasnya, padahal tidak, tapi mereka seperti mendapat durian runtuh.
Berikutnya, karena kegagalan dalam meningkatkan rasio pajak, pemerintah bernafsu untuk belanja infrastruktur, terutama jelang pemilu. Banyak proyek-proyek yang tidak ada manfaatnya tetap dijalankan. Apa manfaatnya proyek kereta cepat Jakarta-Bandung? Apa manfaatnya Ibu Kota Negara (IKN). Aneh, orang mau naik kereta KRL dibedakan tarifnya.
Ketimpangan ekonomi itu diciptakan ‘by design’ oleh pemerintahan, justru disaat yang seharusnya ada subsidi lebih besar kepada rakyatnya, malah Pemerintah mensubsidi mobil kendaraan listrik dan kereta cepat Jakarta-Bandung yang hanya bermanfaat bagi kelas menengah atas. Kereta Ccpat Jakarta-Bandung adalah proyek mubazir, uji kelayakannya pun bermasalah.
Kebijakan pemindahan IKN merupakan kebijakan yang membigungkan bagi anak-anak muda. Mengapa? Karena konsepnya memindahkan birokrasi dari Jakarta ke Penajam sebagai IKN yang baru. Hal ini menunjukkan bahwa konsep IKN baru yang mau dibesarkan adalah pada level birokrasinya.
Pada saat pandemi Covid-19 kita pernah belajar untuk work from home (WFH) menjadi kebiasaan baru. Semua kegiatan belajar, rapat-rapat, diskusi dapat dilaksanakan secara on-line–seperti yang kita laksanakan saat ini, bersama Rumah Restorasi Indonesia (RRI) ini yang terpenting fungsinya, acaranya terlaksana.
Ketika sekarang pemerintah menyatakan hendak masuk pada era revolusi industri 4.0, semestinya bukan malah memindahkan birokrasi ke IKN baru.
Konsep pembangunan gedung pemerintahan, hanya akan memperbesar belanja birokrasi. Ini kita sebagai anak muda harus bertanya, mengapa harus pindah ibu kota negara? Mengapa bukan dilakukan digitalisasi di semua lini, sehingga tahun 2023 ini tidak perlu melakukan pembangunan secara fisik. Konsep pembanguan bangunan baru menjadi topik yang kontradiktif di saat anak-anak muda kita sedang masuk pada era revolusi industri 4.0 dan semangat anak muda melakukan digitalisasi.
Kita harus mengkritisi bahwa proyek pemindahan IKN dan kereta cepat Jakarta-Bandung bukan hanya dilihat dari sisi terbukanya lowongan kerja, tapi juga adanya penambahan beban hutang negara yang terus bertambah. Belum lagi, jika hutangnya dipajaki yang akan berisiko menjadi proyek mangkrak.