Pemerintah Kehilangan Seni Integrasi Sosial

Oleh Syafinuddin Al-Mandari*

Pemerintah yang dimaksud dalam tulisan ini adalah semua unsur pemilik otoritas baik di pusat maupun daerah yang terkoneksi secara langsung dengan timbulnya korban di Pulau Rempang, Kepri. Lebih daripada itu, pemerintah juga adalah pemilik dan pengendali segala perangkat yang seharusnya dapat digunakan untuk menciptakan suasana damai, bukan bentrok, apalagi konflik sosial.

Setiap konflik dalam bentuk apapun adalah indikator penting lunturnya integrasi unsur-unsur kemasyarakatan di suatu tempat. Yehezkiel Mais dan Antonius Purwanto (2019) menyatakan bahwa konflik adalah suatu fenomena sosial yang sulit dielakkan ketika perbedaan kepentingan masih terus ada. Ini berarti bahwa konflik pada prinsipnya adalah sebuah hal yang hanya perlu pengelolaan untuk mencapai kedamaian.

Integrasi Sosial

Tujuan mewujudkan kedamaian dengan mengelola konflik kepentingan secara tepat memerlukan seni pengelolaan yang tinggi. Sebenarnya itulah integrasi sosial. Para ilmuwan sosial sepakat memberikan definisi sederhana integrasi sosial sebagai penyatuan berbagai unsur yang memiliki perbedaan di dalam suatu masyarakat. Meski dalam penekanan tertentu beberapa ilmuwan, misalnya Soerjono Soekanto, memberikan perspektif khas seperti proses sosial yang dilakukan oleh berbagai unsur yang berbeda, namun secara substansial adalah sama.

Integrasi sosial seharusnya bukan sepenuh-penuhnya merupakan soal ketentuan formal atau penerapan panduan resmi dalam tatanan hukum, misalnya. Benar saja bahwa tertib hukum dan penerapannya akan mengokohkan integrasi sosial, namun lebih daripada itu, integrasi sosial menurut penulis adalah soal seni. Dimensi integrasi sosial yang memerlukan cita rasa seni yang tinggi adalah komunikasi dan tata laksana pengambilan kebijakan publik.

Lebih lanjut Yehezkiel Mais dan Antonius Purwanto menjelaskan bahwa _state_ memegang peranan penting untuk mewujudkan kedamaian tersebut. Ini berarti bahwa peristiwa yang menyobek integrasi sosial seperti pada fenomena Pulau Rempang.

Ketika Rempang bikin _rempong_ publik maka sebenarnya ada yang tidak beres dalam seni tata kelola dan komunikasi publik yang terjadi di ranah _state_ khususnya untuk mengupayakan terwujudnya integrasi sosial.

Kegagalan membangun integrasi sosial tersebut sangat berbahaya karena negara sudah ada pada deret paling depan dalam pelibatan semua komponen sosial ketika Bangsa ini makin memerlukan kebersamaan. Membangun integrasi sosial merupakan usaha kolaboratif yang nontemporal. Kita memerlukan kolaborasi dengan semua pihak.

Pemerintah seperti kehilangan seni untuk membangun integrasi sosial tersebut. Salam banyak rentetan peristiwa di negeri ini mngkin inilah yang mulai hilang di ranah _state_ itu:

Pertama, Pendidikan dan penyadaran melalui program-program pendidikan dan kampanye kesadaran yang mempromosikan toleransi, pemahaman, dan penghargaan terhadap keberagaman budaya, agama, dan latar belakang sosial. Inilah yang memicu tragedi Transito Lombok, 2006, dan Sampang Madura, 2012.

Kedua, Inklusi dalam kehidupan berbagai komunitas dan transparansi dalam kebijakan pemerintah. Komunitas eksklusif seperti kelompok-kelompok pelaku bisnis papan atas jelas merupakan fenomena ekslusi yang sangat nyata. Kelompok itu seolah menarik diri dari denyut nadi bangsa yang sedang berkembang ini. Diperparah lagi dengan Barat kebijakan yang kurang transparan karena sama halnya menyimpan bara konflik yang sewaktu-waktu dapat menyala. Mungkin inilah yang terjadi di Timika, Morowali dan sekitarnya.

Ketiga, Soliditas dan solidaritas. Makin sedikitnya kelompok sosial yang bersedia bergabung dengan organisasi atau kegiatan yang fokus pada integrasi sosial, seperti pertukaran budaya atau proyek sosial lainnya. Empati sosial pemerintah mungkin masuk dalam bagian ini sehingga sangat mudah melahirkan kebijakan yang diskriminatif.

Keempat, Dialog antarkelompok yang mendorong suburnya suasana terbuka dan saling menghargai. Tampaknya dalam konteks kebijakan publik, aspek ini sangat penting untuk dikembangkan.

Kelima, Menjaga sikap terbuka terutama terhadap pandangan dan pengalaman orang lain. Demikian juga tetap berusaha untuk memahami setiap sudut pandang yang berbeda di tengah masyarakat.

Keenam, Menghindari stereotip dengan terus berusaha untuk tidak memercayai atau menyebarkan stereotip negatif tentang kelompok tertentu. Sayangnya, kadang stereotip itu justru muncul dan diberi peluang berkembang melalui pembiaran oleh pemerintah sendiri.

Ketujuh, Mendukung penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) guna menghapus diskriminasi. HAM adalah ukuran paling penting untuk melihat tanggung jawab negara kepada kepentingan publik.

Kedelapan, Bermedia dengan konten yang baik. Publik perlu memiliki kearifan untuk tidak memicu konflik melalui nedia.

Butir ketiga hingga kedelapan telah terjadi dalam konteks kasus Pulau Rempang. Pemerintah telah kehilangan seni integrasi sosial di Rempang.

*Penulis adalah Koordinator Kompartemen di Rumah Restorasi Indonesia.

Kirim Pesan atau Tanggapan

Lebih Banyak dari Penulis Ini

Kiriman Lainnya

Ikuti Kami

Berlangganan Rilisan Kami

Ketuk tombol “Kirim ” setelah mengisi Email.